HUKUM HAJI
Haji hukumnya wajib, fardhu menurut Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma/ kesepakatan kaum muslimin.
DEFINISI HAJI
a) Menurut bahasa:
Al-Haju adalah Al-Qashdu (القصد), artinya menuju.
b) Menurut istilah syar'i:
Beribadah kepada Allah azza wajalla, dengan melakukan manasik sesuai yang diajarkan dalam sunnah rasul.
DEFINISI UMRAH
a) Menurut bahasa:
Al-Umrah yaitu Az-Ziyarah (الزيارة), artinya berkunjung.
b) Menurut istilah syar'i:
Beribadah kepada Allah dengan melakukan:
1. Thawaf di Ka'bah
2. Sa'i di Safa dan Marwah dan
3. Mencukur atau memotong rambut.
APAKAH UMRAH ITU WAJIB ATAU SUNNAH?
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ta'ala berkata, "Yang nampak, bahwa umrah itu wajib, karena hadits yang paling shahih diperselisihkan hukumnya dalam permasalahan ini, yakni hadits Aisyah رضي الله عنها ketika bertanya kepada Nabi صلى الله عليه وسلم,
هل على النساء جهاد ؟
"Apakah kaum wanita wajib berjihad?"
Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab,
نعم، عليهن جهاد لا قتل فيه : الحج والعمرة
"Ya, wajib bagi para wanita berjihad tanpa bunuh membunuh, yaitu haji dan umrah."
APAKAH UMRAH ITU WAJIB BAGI PENDUDUK MAKKAH?
Ada khilaf/perselisihan pendapat dalam permasalahan ini, Al-Imam Ahmad menyatakan bahwa umrah tidak wajib bagi penduduk Makkah, ini juga pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah rahimahullah), bahkan beliau berpendapat bahwa penduduk Makkah tidak disyariatkan untuk melakukan umrah secara mutlak.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Akan tetapi dalam hatiku ada sesuatu dari pendapat tersebut, karena hukum asalnya bahwa dalil-dalil dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah secara umum ditujukan kepada semua manusia (kaum muslimin), kecuali jika ada dalil yang mengeluarkan sebagian orang dari kewajiban hukum tersebut."
SYARAT-SYARAT HAJI DAN UMRAH
1. Islam.
Lawannya kafir.
2. Merdeka.
Lawannya budak. Maka tidak wajib bagi seorang budak, karena dia tidak memiliki harta.
3. Mukallaf, yakni sudah baligh dan berakal.
Anak kecil tidak wajib haji, akan tetapi seandainya dia haji maka sah hajinya, tapi tidak dianggap telah gugur kewajibannya untuk haji dalam Islam, dalilnya:
أنَّ امْرَأَةً رَفَعَتْ صَبِيًّا، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَلِهذا حَجٌّ؟ قالَ: نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ.
صحيح مسلم ١٣٣٦ •
"Ada seorang wanita mengangkat bayinya, lalu berkata, 'Ya Rasulullah, apakah (bayi) ini boleh berhaji?' Beliau menjawab, "Ya, dan pahalanya untukmu." HR. Muslim (1336).
Dan orang gila tidak wajib haji, karena dia bukan mukallaf (tidak dibebani syariat).
4. Mampu, baik dengan harta maupun badannya.
~ Mampu terbagi menjadi empat bagian:
A. Kaya dan kuat badannya, maka dia wajib melaksanakan haji sendiri (yakni tidak boleh diwakilkan).
B. Mampu badannya, tapi tidak mampu pada hartanya, maka dia wajib haji. Jika dia penduduk Mekah, maka tidak ada keberatan baginya untuk melaksanakan haji, dan jika dia jauh dari Mekah, dia berkata, 'Aku mampu melayani orang-orang (dalam perjalanan haji) dan makan bersama mereka (sebagai upahnya), maka dia termasuk orang yang mampu sehingga wajib melaksanakan haji.
C. Mampu pada hartanya tapi tidak mampu pada badannya, maka dia wajib haji dengan cara mewakilkan.
~ Dalilnya: Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
يا رسولَ اللهِ إنَّ فريضةَ اللهِ في الحجِّ أدركتْ أباها شيخًا كبيرًا لا يستطيعُ أنْ يثبُتَ على الرَّحْلِ أفأحُجُّ عنه قال: نعمْ
أخرجه البخاري (١٥١٣)، ومسلم (١٣٣٤)
"Ya Rasulallah, sesungguhnya bapakku berkewajiban melaksanakan haji, tapi dia sudah tua dan tidak mampu menaiki kendaraan, apakah saya boleh menghajikannya?' Beliau menjawab, "Ya boleh." HR. al-Bukhari (1513), dan Muslim (1334).
D. Tidak mampu pada harta dan badannya. Maka dia tidak wajib haji.
Dengan keterangan di atas, maka jelaslah bahwa syarat-syarat yang telah kami sebutkan di atas terbagi menjadi tiga bagian:
1. Dua syarat untuk kewajiban, sah, dan mencukupi hajinya, yaitu Islam dan berakal.
2. Dua syarat untuk kewajiban dan mencukupi hajinya, yaitu baligh dan merdeka.
3. Satu syarat untuk kewajiban haji, yaitu mampu.
Seandainya seseorang melaksanakan haji tanpa kemampuan, maka hajinya telah mencukupi dan sah.
5. Disyaratkan untuk wajibnya haji bagi wanita, harus disertai mahram yang mendampingi dia dalam safarnya.
Adanya mahram bagi wanita ketika haji dan umrah merupakan syarat wajib baginya.
Apabila seorang wanita meninggal dunia padahal dia memiliki banyak harta, akan tetapi dia tidak memiliki mahram yang mendampingi safarnya, maka tidak wajib mengeluarkan harta warisnya untuk dihajikan/diwakilkan hajinya oleh orang lain, dan tidak ada dosa bagi wanita tersebut, karena ketidakmampuan syar'i (yakni ada udzur yang syar'i), bukan sekedar ketidakmampuan secara hissi, maka wanita seperti ini sama seperti orang yang tidak memiliki harta untuk melakukan haji (yakni dia tidak wajib melakukan haji).
PENJELASAN TENTANG MAHRAM
▪️Mahram seorang wanita itu bisa:
✔️ Suaminya, atau
✔️ orang yang haram dinikahi untuk selamanya dengan sebab yang mubah, seperti karena sebab 'radha' (susuan), atau sebab 'mushaharah' (hubungan mahram bukan karena nasab, seperti bapak mertua, anak bawaan dari suami menantu. Pen.)
SYARAT-SYARAT MAHRAM
1. ISLAM
Maka orang kafir bukan mahram. Akan tetapi pendapat yang benar adalah sebaliknya, bahwa seorang laki-laki menjadi mahram bagi wanita yang seagama dengannya.
Maka bapak yang kafir menjadi mahram anak wanitanya yang kafir, dan tidak terlarang dia safar bersama anak wanitanya.
Akan tetapi jika bapaknya kafir bisa menjadi mahram bagi anak wanitanya yang muslimah tapi dengan syarat bapaknya dapat menjaga 'amanah', jika tidak maka tidak bisa menjadi mahram.
2. Mahram telah mencapai usia baligh.
3. Berakal.
DALIL WAJIB DISERTAI MAHRAM BAGI WANITA KETIKA HAJI DAN UMRAH
Adalah hadits Nabi صلى الله عليه وسلم:
عن عبدالله بن عباس رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "لا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بامْرَأَةٍ إلّا وَمعها ذُو مَحْرَمٍ، وَلا تُسافِرِ المَرْأَةُ إلّا مع ذِي مَحْرَمٍ، فَقامَ رَجُلٌ، فَقالَ: يا رَسولَ اللهِ، إنَّ امْرَأَتي خَرَجَتْ حاجَّةً، وإنِّي اكْتُتِبْتُ في غَزْوَةِ كَذا وَكَذا، قالَ: انْطَلِقْ فَحُجَّ مع امْرَأَتِكَ.
صحيح مسلم ١٣٤١
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali si wanita disertai mahram, dan tidak boleh seorang wanita safar kecuali bersama mahramnya."
Maka berdirilah seorang laki-laki berkata, "Ya Rasulullah! Sesungguhnya istriku akan pergi haji sedangkan aku telah terdaftar sebagai pasukan perang ini dan itu"
Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Pergilah haji bersama istrimu." (HR. Muslim no.1341)
PENJELASAN TENTANG WAJIBNYA HAJI
Barangsiapa yang telah sempurna syarat-syarat haji kemudian dia mati, maka harus dikeluarkan jumlah biaya haji dan umrah yang diambil dari peninggalan hartanya sebelum dibagi waris dan wasiatnya (jika dia pernah berwasiat), sebab kewajiban haji dan umrah ini merupakan hutang (bagi yang mampu berhaji tapi belum berhaji sehingga datang kematiannya. Pen.).
Hal ini berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
دين الله أحق الوفاء فيؤخذ من تركته ما يضي الحج والعمرة سواء أوصى أم لم يوص."
"Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan, maka hendaklah diambil dari harta peninggalannya untuk biaya haji dan umrah, baik dia berwasiat (untuk itu) ataupun tidak berwasiat."
HAJI DAN UMRAH WAJIB DILAKSANAKAN SEKALI SEUMUR HIDUP
Dalilnya:
1. Allah ta'ala menyebutkan secara mutlak dalam firman-Nya:
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
"Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana." QS. Ali-Imran: 97
2. Sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم ketika beliau ditanya tentang haji, apakah setiap tahun? Maka beliau bersabda,
الحجُّ مرةٌ، فمن زاد فهو تطوُّعٌ
"(Wajib) Haji itu satu kali, dan barangsiapa yang (melaksanakan) lebih, maka hukumnya Sunnah.
HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An-Nasa'i.
Kecuali karena ada sebab seperti nazhar, barang siapa bernazhar melaksanakan haji, maka wajib melaksanakannya, berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم,
مَنْ نذر أنْ يُطِيعَ اللهَ، فلْيُطِعْه.
"Barang siapa bernazhar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, maka hendaklah menaati-Nya (melaksanakannya)."
HR. Al-Bukhari.
WAJIB MENYEGERAKAN PELAKSANAAN HAJI
Dalilnya:
1. Allah ta'ala berfirman,
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
"Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana." QS. Ali-Imran: 97
2. Hadits Abu Hurairah dalam riwayat Muslim:
يا أيُّها النّاسُ إنَّ اللهَ كتبَ عليكمُ الحجَّ فحجوا.
"Wahai manusia!Sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji bagi kalian, maka berhajilah kalian!"
Hukum asal suatu perintah adalah disegerakan.
3. Karena manusia tidak mengetahui kapan dia mati
4. Karena Allah memerintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Allah ta'ala berfirman,
فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ
"Maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan." QS. Al-Baqarah: 148)
KEWAJIBAN HAJI DITURUNKAN PADA TAHUN KE- 9 HIJRIYAH
Jika dikatakan, mengapa Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak langsung melaksanakan haji di tahun ke-9?
Kami katakan, bahwa hal itu karena ada beberapa sebab:
1. Bahwa di tahun 9 Hijriyah itu banyak utusan dari berbagai suku Arab untuk mempelajari agama Islam, dan ini perkara sangat penting.
2. Bahwa di tahun ke-9 Hijriyah telah ditetapkan yang akan melaksanakan haji adalah orang-orang musyrik (sebagaimana keputusan pada waktu perjanjian Hudaibiyah), maka Nabi صلى الله عليه وسلم memerintahkan untuk menunda haji agar haji tahun berikutnya hanya khusus bagi kaum mukminin saja.
APABILA SEORANG BUDAK MELAKSANAKAN HAJI, MAKA SAH HAJINYA
Akan tetapi apakah dianggap telah menunaikan kewajiban hajinya ataukah belum teranggap?
Ada dua pendapat dalam permasalahan ini:
1. Pendapat jumhur ulama, tidak mencukupi karena budak dihukumi sama seperti anak kecil (yakni tidak wajib haji. Pen.), seandainya seorang anak melaksanakan haji sebelum dia baligh, maka hajinya tidak dianggap sebagai fardhu haji, begitu juga seorang budak.
2. Sah hajinya seorang budak jika dengan izin majikannya.
Tidak ada kewajiban haji bagi budak sebab dia tidak memiliki harta, juga karena dia adalah hak milik majikan, maka jika majikannya memberi uang dan mengizinkannya untuk melaksanakan haji, dan keadaan budak tersebut sebagai mukallaf, sudah baligh, dan berakal, maka hajinya telah mencukupi sebagai fardhu baginya.
Asy-Syaikh (Ibnu 'Utsaimin rahimahullah) berkata, menurutku dalam permasalahan ini, aku tidak bisa mentarjih (menguatkan dua pendapat tersebut), karena:
- budak tidak wajib haji itu memiliki alasan yang kuat,
- dan alasan bahwa budak itu merupakan hak majikannya juga alasan yang kuat.
Dan hukum asalnya bahwa budak juga termasuk ahli ibadah. Allahu a'lam.
PERMASALAHAN MANASIK HAJI DAN UMRAH BAGI ANAK-ANAK
Pelaksanaan haji dan umrah yang dikerjakan oleh anak-anak atau oleh budak, sah dan dianggap sebagai ibadah Sunnah.
Apabila anak kecil telah menginjak usia mumayyiz, maka hendaklah walinya memerintahkannya untuk niat ihram karena dia telah mumayyiz, dan jika belum mumayyiz maka ihramnya teranggap seperti yang diniatkan walinya.
Apakah lebih utama bagi anak-anak berihram haji dan umrah, atau tidak?
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
1. Jika ada waktu yang tidak memberatkan maka ihram bagi anak-anak itu bagus, karena Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda kepada seorang wanita yang mengangkat anaknya di hadapan Rasulullah صلى الله عليه وسلم sambil bertanya,
هل لهذا حج؟
"Apakah bagi anak ini ada haji?"
Beliau menjawab,
نعم ولك أجر
"Ya, dan untukmu pahalanya." HR. Muslim.
2. Adapun jika memberatkan, seperti keadaan yang penuh sesak, maka yang lebih utama bagi anak-anak untuk tidak melaksanakan ihram, karena kemungkinan akan menyibukkan (wali)nya dalam melaksanakan manasiknya padahal dia dituntut untuk melaksanakannya secara sempurna.
Jika seorang anak melakukan ihram, apakah dia wajib menyempurnakan ihramnya?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Yang masyhur dalam mazhab, bahwa dia harus menyempurnakan ihramnya.
2. Menurut Mazhab Abu Hanifah, bahwa dia tidak wajib menyempurnakan ihramnya karena dia belum mukallaf, sehingga tidak ada keharusan mengamalkan segala kewajiban. Ini pendapat yang lebih mendekati kebenaran, karena ini lebih mudah bagi manusia, dan juga karena alasannya benar.
Jika seorang anak tidak dapat melaksanakan tawaf sendiri dan dia digendong, maka:
1. Jika si anak sudah memahami tentang niat, dan dia melakukan niat, tapi dia digendong oleh walinya, maka tawaf yang dilakukan sah, bagi si anak juga bagi walinya sekaligus.
2. Dan jika anak tidak memahami niat, maka tidak sah tawaf dengan dua niat, hendaklah dikatakan kepada walinya, 'Bahwa dia bisa tawaf terlebih dahulu, kemudian tawaf lagi untuk anaknya, atau dia boleh mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan tawaf untuk anaknya.'
ORANG YANG DIANGGAP MAMPU MELAKSANAKAN IBADAH HAJI
Orang yang dianggap mampu melaksanakan haji adalah jika dia mampu:
1. Berkendara
3. dan memiliki bekal.
Barang siapa yang tidak mampu berkendara maka termasuk orang yang tidak mampu melaksanakan haji.
Adapun di masa kita sekarang transportasi dengan pesawat dan mobil, maka jarang sekali orang yang tidak mampu berkendara, meskipun demikian ada sebagian orang yang mendapatkan kesulitan untuk berkendara, ada di antara mereka yang sampai pingsan, atau merasakan kepayahan dan kelelahan yang berat, ada pula yang mual dan muntah, maka bagi mereka ini tidak wajib haji baginya meskipun tubuhnya sehat dan kuat.
Seseorang tidak teranggap mampu melaksanakan haji kecuali setelah terpenuhi 3 perkara, sebagai berikut:
1. Telah menunaikan semua kewajiban.
a. Yakni semua yang wajib ditunaikan oleh manusia, seperti:
- hutang kepada Allah azza wajalla, juga hutang kepada sesama manusia.
- Memberikan nafkah wajib kepada istri dan anak-anak
- dan telah menunaikan nadzar-nadzarnya
b. Orang yang memiliki harta, jika dia membayar hutang-hutangnya maka hartanya habis hingga dia tidak bisa pergi haji, dan sebaliknya, jika dia haji maka dia tidak bisa membayar hutang-hutangnya, ini termasuk orang yang tidak mampu melaksanakan haji, kecuali setelah dia melunasi hutangnya.
c. Apabila orang yang menghutanginya mengizinkan dia untuk melaksanakan haji, maka tetap dia termasuk orang yang tidak mampu melaksanakan haji, sebab permasalahan ini bukan karena ada izin atau tidak ada izin, akan tetapi ini adalah permasalahan 'ada tanggungan' atau 'tidak ada tanggungan', dan sebagaimana telah diketahui, meskipun orang yang menghutangi mengizinkan orang yang memiliki hutang untuk melaksanakan haji, maka 'tanggungan hutangnya' tidak hilang, yakni dia masih tetap punya 'tanggungan hutang.'
2. Telah menunaikan nafkah syar'i
Yakni nafkah yang telah ditetapkan dan dibolehkan oleh syariat, seperti nafkah untuk dirinya sendiri dan untuk keluarganya, dengan cara tidak berlebih-lebihan.
Ada perbedaan tentang kadar/batas nafkah yang syar'i, yaitu:
A). Setelah nafkah yang mencukupi untuk dirinya, dan keluarganya yang diberikan secara rutin. (Yang dimaksud dengan rutin, seperti: uang hasil dari pekerjaannya, atau dari sewa lahan/tanah, dan yang semisalnya).
B). Apa yang mencukupi untuk dirinya dan keluarganya sampai dia pulang dari haji.
C). Diperkirakan nafkah untuk dirinya dan keluarganya mencukupi dalam waktu setahun, sebagaimana para ulama fiqih memperkirakan hal itu dalam bab zakat, yaitu mereka sebutkan kategori orang fakir adalah orang yang tidak miliki kecukupan nafkah selama satu tahun.
Dan yang berpendapat seperti ini cukup kuat dan tidak jauh dari kebenaran.
3. Kebutuhan-kebutuhan pokok
Dia harus memiliki harta lebih dari kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan penting yang banyak dibutuhkan oleh manusia, seperti mobil, meskipun ia bukan kebutuhan primer tapi orang sangat butuh dalam kehidupan mereka.
*Kumpulan kajian fiqih rutin dari kitab Fiqh Al-Mar'ah Al-Muslimah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله yang diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada tanggal 6 Jumadal Akhir 1442 H- 21 Rajab 1443 H / 19 Januari 2021 M - 22 Februari 2022 M. Telah diterbitkan di channel Telegram t.me/nisaassunnah