BULAN MUHARRAM BUKAN BULAN SIAL



Sebagian orang meyakini bulan Muharram sebagai bulan keramat yang tidak boleh dibuat acara dan bersenang-senang, sehingga banyak aktivitas tertentu yang ditunda atau bahkan dibatalkan. Lebih dari itu, mereka meyakini siapa yang mengadakan hajatan pada bulan ini akan ditimpa musibah dan malapetaka. 

Sebagai contoh adalah pernikahan, mereka enggan menikahkan putra putrinya di bulan ini karena khawatir ditimpa petaka dan kesengsaraan bagi kedua mempelai.

Ketika ditanya mengenai alasan mereka menilai bulan Muharram sebagai bulan keramat nan penuh pantangan, tidak ada jawaban berarti dari mereka, selain ’Beginilah tradisi kami’ atau ’Beginilah yang diajarkan bapak-bapak kami’.

Sikap mengikuti tradisi atau leluhur tanpa bimbingan Islam adalah terlarang, bahkan sikap seperti ini termasuk sifat orang-orang jahiliyah dan penyembah berhala pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nabi-nabi sebelumnya. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan di dalam Al-Qur’an tentang jawaban orang-orang Quraisy ketika diajak oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meninggalkan kesyirikan, kata mereka (yang artinya),

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 22)


Demikian pula Fir’aun, ketika diajak oleh Nabi Musa ‘alaihis salam agar beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla, ia malah berkata (yang artinya,


“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya.” (QS. Yunus: 78)


Kemudian, anggapan sial untuk melakukan aktivitas tertentu, seperti hajatan dan semisalnya di bulan Muharram yang diyakini oleh keumuman masyarakat Jawa, dalam ajaran Islam disebut Tathoyyur atau Thiyaroh, yaitu meyakini suatu keburuntungan atau kesialan didasarkan pada kejadian, tempat, atau waktu tertentu.

Anggapan seperti ini sebenarnya sudah ada sejak zaman jahiliyah. Setelah Islam datang, maka ia dikategorikan ke dalam perbuatan syirik yang harus ditinggalkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman (Artinya): 

”Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 131)
Dalil yang menunjukkan bahwa Tathoyyur atau Thiyaroh termasuk kesyirikan adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Thiyaroh adalah kesyirikan”, beliau mengulangnya sebanyak tiga kali.” (HR. Ahmad danAbu Daud, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu)
Apabila kita telah mengetahui bahwa anggapan sial atau keberuntungan seperti itu termasuk kesyirikan, maka kewajiban kita selanjutnya adalah menjauhinya dan menjauhkannya dari anak dan istri kita dari keyakinan tersebut. Sehingga kita beserta keluarga kita tidak terjerembab kedalam kubangan dosa besar yang paling besar, yaitu dosa syirik.

sumber : http://manhajul-anbiya.net
Majmu'ah Manhajul AnbiyaJoin Telegram https://tlgrm.me/ManhajulAnbiyaSitus Resmi http://www.manhajul-anbiya.net


Diposting ulang hari Jum'at, 28 Dzulhijjah 1437 H / 30 September 2016 M
http://annisaa.salafymalangraya.or.idhttp://bit.ly/nisaaassunnah

Nisaa` As-Sunnah 

Lebih baru Lebih lama