KAJIAN FIQIH
Dari kitab:
Tanbihat ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu`minat
Penulis:
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan حفظه الله
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى أله وأصحابه ومن والاه، أما بعد:
أخواتي في الله رحمني ورحمكم الله
Saudaraku seiman, semoga rahmat Allah dilimpahkan untukku dan untuk kalian semua.
Melanjutkan kajian kita sampai pada
HAL-HAL YANG HARAM DILAKUKAN OLEH WANITA DI MASA 'IDDAH:
Yang pertama, haram dikhitbah/dilamar.
▪ Bagaimana melamar dengan tashrih/terang-terangan dan bagaimana melamar dengan sindiran
Melamar secara tashrih, yaitu mengutarakan minat untuk menikahinya, misalnya dengan mengucapkan,
"Saya ingin menikah denganmu".
Dengan kalimat yang terang-terangan seperti itu, maka akan menimbulkan keinginan yang kuat bagi wanita untuk segera menikah lagi, dan kemungkinan akan mendorongnya untuk memberitahukan, bahwa masa iddahnya sudah selesai, padahal sebenarnya belum selesai.
Berbeda dengan lamaran secara ta'ridh/sindiran, karena kalimat yang disampaikan tidak jelas menunjukkan keinginan untuk menikahinya, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang dilarang seperti yang difahami dari ayat di bawah. (QS. Al-Baqarah: 235)
CONTOH melamar secara ta'ridh/sindiran:
"Saya ingin menikah dengan wanita seperti kamu".
Wanita dalam masa 'iddah dari talak 3, atau talak yang bukan Raj'i BOLEH menjawab lamaran secara sindiran, dengan menjawab secara sindiran juga, dan ❌ tidak halal menjawab dengan terang-terangan.
Adapun bagi wanita di masa 'iddah dari talak raj'i (talak 1 atau 2) tidak halal baginya untuk menjawab laki-laki yang melamarnya, baik dengan jawaban terang-terangan maupun sindiran.
(sebagaimana haramnya melamar wanita yang ditalak raj'i baik secara sindiran apalagi terang-terangan, pen.)
Berikutnya yang HARAM dilakukan oleh wanita dalam masa 'iddah adalah:
MENIKAH di masa 'iddah dengan laki-laki lain
Berdasarkan firman Allah ta'ala,
{...وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ ...} [البقرة : 235]
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya (1/509),
"Yakni, janganlah kamu melakukan akad nikah sebelum habis masa 'iddahnya, para ulama sepakat, bahwa akad nikah di masa 'iddah tidak sah."
DUA FAEDAH KETERANGAN TAMBAHAN:
1. Wanita yang dicerai sebelum dijima' (digauli), maka TIDAK ADA 'IDDAHNYA.
Dalilnya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ ..}[الأحزاب : 49]
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya (5/479),
"Hal ini adalah sesuatu yang disepakati oleh para ulama, yakni bahwa wanita jika dicerai sebelum dijima', maka tidak ada 'iddah baginya, dengan demikian dia boleh ✅ langsung menikah lagi dengan siapa saja yang dia kehendaki."
2. Wanita yang dicerai sebelum dijima', jika sudah ditentukan maharnya (maskawinnya), maka dia berhak mendapat SETENGAH dari mahar tersebut.
Dan jika belum ditentukan maharnya, maka dia mendapat 'mut'ah' (pemberian sukarela) secukupnya berupa pakaian dan semisalnya.
Wanita yang dicerai setelah dijima', maka dia BERHAK mendapatkan maharnya secara penuh.
Dalilnya, Allah ta'ala berfirman,
{لَّا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ} [البقرة : 236]
{وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ...}[البقرة : 237]
Maksud ayat di atas, tidak ada dosa bagi kamu (wahai para suami) untuk menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu menjima'i mereka dan sebelum menentukan maharnya, meskipun hal itu menyakitkan hati mereka, tapi dapat terobati dengan memberikan mut'ah (pemberian sukarela/ganti rugi) kepada mereka.
Pemberian itu harus sesuai dengan kemampuan suami, yang mampu atau yang tidak mampu menurut yang sewajarnya.
Kemudian Allah ta'ala menyebutkan tentang wanita yang dicerai sebelum dijima' dan telah disebutkan maharnya, maka hendaknya memberikan setengah dari jumlah mahar yang telah disepakati.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, 1/512,
"Dalam kasus seperti ini, pemberian setengah dari mahar, adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal ini."
Bersambung insya Allah
Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada Rabu, 11 Rabi'ul Awal 1437 H / 23 Desember 2015
• http://annisaa.salafymalangraya.or.id
Channel Telegram
http://bit.ly/NisaaAsSunnah
Nisaa` As-Sunnah